Tentang Kemerdekaan

Yang paling sejati dari kemerdekaan adalah posisi di mana kita selesai dari batasan batasan diri kita yang muncul karena persepsi kita sendiri sendiri.

Energi Semesta Adalah Jumbuh Dengan Manusia

Seluruh Elemen Semesta Telah Manunggal dalam diri kita semua tanpa terkecuali, dan satu kunci untuk mengaksesnya adalah kesadaran anda.

Titik Agung Peradaban

segala sesuatu memiliki akar, maka akar dari peradaban yang gemilang adalah.....

Kamis, 21 November 2024

Akar dari Sikap Sabar

 

الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَا لصّٰبِرِيْنَ عَلٰى مَاۤ اَصَا بَهُمْ وَا لْمُقِيْمِى الصَّلٰوةِ ۙ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَ

"(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, orang yang sabar atas apa yang menimpa mereka, dan orang yang melaksanakan sholat, dan orang yang menginfakkan sebagian rezeki yang Kami karuniakan kepada mereka."

(QS. Al-Hajj 22: Ayat 35)

===================


Jumhur mufassirin sepakat menyatakan bahwa ayat ini adalah penjelas dari ayat sebelumnya, yakni qs.al hajj : 8 :

..... "فالهكم اله وحد فله اسلموا ، وبشر المخبتين"

_....."maka, Tuhan kalian adalah Tuhan yang Esa, maka berserah dirilah kalian kepadaNYA, dan Berilah kabar gembira kepada orang² yang patuh"._


---

Sayyid Qutb dalam tafsir FiZilalil Qur'an menyebutkan bahwa Bergetarnya Hati orang² yang beriman adalah bentuk kondisi psikologis dari kesadaran akan keagungan Alloh. Ketika asma Alloh disebut, hati mereka langsung merespon dengan getaran karena saking hormatnya kepada Alloh.


Getaran dalam hati, sering dikaitkan dengan ketakutan. Meskipun sebenarnya makna sebenanrnya bukan semata² "takut". Orang yang saking hormatnya kepada sosok yang diagungkannya pun, ketika berhadapan juga akan menjumpai getaran hati yang serupa. Pun ketika bertemu dengan apapun yang ia cintai, ia rindukan, getaran hati itu juga pasti akan hadir menyertai.


Maka dalam Ayat ini, rasa takut ini disebutkan dengan lafadz "wajilat", bukan "khouf" ataupun "khosyiya". Karena lafadz "wajilat" (وجلت) dalam sastra arab berarti getaran dalam hati disebabkan rasa hormat yang mendalam akan pengagungan terhadap apa apa yang ada dihadapinya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh sayyid qutb di atas.


Dan tentu ini sangat senada dengan pengalaman para pejalan spiritual, khususnya pengamal Dzikir Nafas Sadar Alloh. Dimana ketika kita menyadari Alloh secara haqq, hati kita bahkan seluruh badan kita akan tergetar. Tak peduli getaran itu halus ataupun bergemuruh.


Selanjutnya, getaran itu akan berlanjut dalam bentuk gerak takwa. Yakni pengamalan sikap² yang terpuji dalam islam. Seperti halnya disebutkan dalam ayat tersebut yang berupa tindakan sikap sabar, mendirikan sholat dan menginfakkan hartanya.


Tentu itu semua didasari karena Alloh semata, karena sejak awal getaran yg hadir dalam dirinya adalah diakibatkan akan pengagungannya kepada Alloh azza wajalla.


Kemudian tadabburan kami dalam Waskita Qur'an kali ini bertitik berat juga pada penyebutan kata "sabar" yang beriringan dengan "wajilat qulub" dan "muqimish sholat". Artinya, sabar itu bukanlah sikap yang didasari akan paksaan. Melainkan didasari karena kerelaan.


Sabar menghadapi apapun karena ia tahu bahwa segala apapun yang terjadi pada dirinya pastilah karena Alloh semata. Sehingga ia benar benar rela atas apa apa yang menimpanya. Maka dasar dari rasa sabar yang berupa kerelaan ini pernah dicontohkan oleh para Sahabat r.a di zaman Nabi Muhammad s.a.w, yakni ketika Rosulullah bertanya kepada para sahabat tentang bagaimana keadaan mereka, mereka pun menjawab bahwa mereka dalam keadaan ridho atas Alloh. Baik sebagai ilahnya maupun mengenai segala ketentuanNya.


wallohu'alam bish-showab

Penanggung Jawab utama

 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


فَحَقَّ عَلَيْنَا قَوْلُ رَبِّنَاۤ    ۖ اِنَّا لَذَآئِقُوْنَ

"Maka pantas putusan (azab) Tuhan menimpa kita; pasti kita akan merasakan (azab itu)."


فَاَ غْوَيْنٰكُمْ اِنَّا كُنَّا غٰوِيْنَ

"Maka kami telah menyesatkan kamu, sesungguhnya kami sendiri, orang-orang yang sesat.""

(QS. As-Saffat 37: Ayat 31-32)


==================


Potongan ayat ini merupakan serangkaian dari kisah yg berlatar "yaumil hisab". dimana ada segolongan orang sesat yang saat dihisab berdialog dengan pimpinannya yg saat di dunia mengajak mereka dalam kesesatan.

Orang² tersebut mengaku tersesat karena telah diajak oleh pemimpinnya dalam kesesatan. Sedangkan si pemimpin kaum tersebut, mengakui bahwa dirinya pun memang berada dalam kesesatan. Namun ia juga mengaku bahwa ia tidak ada kemampuan untuk menjadikan mereka (kaumnya) untuk tersesat, melainkan karena sejak awal mereka sendiri telah berada dalam tabiat kesesatan yang serupa.


Menyikapi fenomena ini, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Qur'an mengambil sudut pandang yg agak lain daripada mufassirin lainnya. Dimana beliau r.a melihat dari ayat ini bahwa manusia² yang tersesat cenderung akan mencari 'kambing hitam' atas apa apa yang menimpa pada mereka. Meskipun pada akhirnya mereka sendiripun akan tersadar bahwa penanggung jawab paling utama atas apa apa yg menimpa mereka adalah dirinya sendiri. Seperti halnya fenomena tersebut, mereka tersesat, pada dasarnya adalah karena sejak awal dalam hati mereka sudah menyimpan keraguan yang serupa, sehingga ketika ada oknum lain yang mengajak mereka pada kesesatan maka mereka pun spontan akan mengikutinya.


Sekiranya sejak awal di dalam hati mereka tidak ada kecenderungan dalam kesesatan, tentu ajakan berupa apapun tidak akan berefek atau tidak akan mampu mempengaruhi mereka.


Maka benarlah Firman Alloh s.w.t di ayat lainnya yg menegaskan bahwa perubahan atas suatu kaum itu dapat disebabkan tatkala mereka merubah tabiatnya sendiri.


Senada dengan Fi Zilalil Qur'an, Tafsir Kemenag RI menjelaskan bahwa pada dasarnya pengikut² yg tersesat itu mengikuti pemimpin²nya dikarenakan oleh tabiat dan usaha mereka sendiri untuk meraih jalan kesesatan itu.


---

Sebagai antitesis, tentu ini juga berlaku bagi orang² yang beriman. Dalam artian, kalau memang dalam hatinya penuh dengan keimanan maka ia tidak akan pernah mudah terpengaruh oleh ajakan kesesatan bagaimanapun lihainya para penyesat itu bersilat lidah. Sebaliknya ia akan mudah termotifasi dalam hal hal kebenaran.


Intinya, tabiat dan isi hati sejatinya berkitan erat dengan kesadaran yg telah dianugerahkan Alloh dalam dirinya. Mau diarahkan kemana kesadarannya, akan mempengaruhi cara berpikir dan merespon segala hal yg ada di sekelilingnya.


Wallohu'alam bish-showab

Dirajam Nafsu

 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:


قَا لُوْا لَئِنْ لَّمْ تَنْتَهِ يٰـنُوْحُ لَـتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمَرْجُوْمِيْنَ 

_"Mereka berkata, "Wahai Nuh! Sungguh, jika engkau tidak (mau) berhenti, niscaya engkau termasuk orang yang dirajam (dilempari batu sampai mati).""_

(QS. Asy-Syu'ara' 26: Ayat 116)


--------------

Secara dhohiriah, ayat ini mengkisahkan histori ancaman kaum Nabi Nuh a.s terhadap ajakan untuk beriman dan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Nuh a.s.

Ancaman yang selalu dilakukan oleh orang² yang buta hatinya untuk menerima kebenaran, adalah sebagaimana yg dikabarkan dalam ayat ini. Yakni ancaman keras untuk membunuh NabiNYA.


Seperti yg dijelaskan oleh Sayid Qutb dalam tafsir FiZilalil Qur'an yang menyoroti reaksi keras kaum Nabi Nuh a.s sebagai refleksi dari penolakan yg mendalam terhadap ajakan tauhid.

demikian juga penafsiran ibn Abbas dalam Tanwir Al-Miqbas yang menjelaskan bahwa ancaman keras berupa akan merajam nabi Nuh hingga meninggal adalah bentuk ekspresi kebencian mereka terhadap ajakan nabi Nuh a.s untuk meninggalkan berhala.


Selain itu, sebagaimana telah kita ketahui bersama. Bahwa dimensi Al-Qur'an selalu tidak hanya berdimensi lahiriah semata, namun juga selalu memiliki dimensi Bathin. Hal ini yang tersirat oleh sabda Nabi s.a.w, *"Sesungguhnya Al-Qur'an memiliki makna lahiriah (terbuka) dan bathiniah (tersembunyi), memiliki batas dan permulaan"*. Juga pada riwayat yg lain, Rosululloh bersabda, *"Bacalah Al-Qur'an dan temukanlah hal hal tersembunyi (rahasia / bathiniah) darinua"*

Pada suatu riwayat yang ada dalam Ihya' Ulumuddin, Rosululloh s.a.w pernah mengulang ulang bacaan "Bismillahirrohmanirrohim" sebanyak 20 kali. Imam Ghozali r.a menerangkan bahwa hal itu semata mata dilakukan untuk menghayati pengertian bathiniahnya. Jika saja pemaknaan Al-Qur'an hanya sebatas Lahiriah saja tentu itu sangat mudah (tidak perlu sampai diulang ulang), terlebih lagi yang melakukan itu adalah Nabi s.a.w.


Maka, ayat ini pun juga memiliki ruang bathiniah tersendiri. Seperti halnya yang tertuang dalam tafsir Lathoiful Isyarot (Imam Qusyairi) dan tafsir al-Jaylani (Sulthonul Auliya Syaikh Abdul Qodir Jylani) yang cenderung penafsirannya bercorak Sufistik. Beliau beliau r.a menerangkan bahwa ayat ini merefleksikan ibaroh sisi "Self" dalam setiap diri salikin yang tercerahkan dalam bersuluk kehadirat Alloh. 


"Nuh" menyimbolkan tentang sisi yang tercerahkan (diri/nafs) itu, yang senantiasa mengajak seluruh _umatnya_ yang disimbolkan sebagai "kaum" untuk turut bergerak menuju Alloh. Namun dikarenakan si-"kaum" atau anggota tubuh terlalu lama berkecimpung dalam ketidak sadaran atau kealpaan, tentu saja kaum ini akan selalu menentang setiap ajakan untuk menuju kesadaran yg lebih tinggi.


Imam Qusyairi memaknai ayat ini sebagai berikut,

...لَئِنْ لَّمْ تَنْتَهِ يٰـنُوْحُ... (Jika kamu tidak berhenti wahai Nuh)

ini merupakan representasi dari suara nafsu yang menolak perbaikan dan kejernihan bathin. 

...لَـتَكُوْنَنَّ مِنَ الْمَرْجُوْمِيْنَ. (Niscaya kamu akan dirajam)

Ancaman ini menggambarkan bagaimana kesadaran yg rendah enggan menerima perubahan kearah yg lebih baik, sehingga cenderung menghadirkan ketakutan ketakutan untuk berubah kearah yg lebih baik.


Syaikh Abdul Qodir al-Jylani memaknai kaum Nabi Nuh sebagai rintangan bathin yang menghalangi seseorang mencapai maqom Tauhid secara haq.

Sedangkan merajam erat kaitannya dengan Halangan spiritual berupa ketakutan - ketakutan untuk beranjak menuju wilayah tauhid.


Penjelasan seperti ini tentu sangat kompatibel dengan pengalaman perjalanan spiritual setiap hamba yang bermuroqobah ilalloh.

Pengalaman² berupa ketakutan² tersembunyi dan besitan² keraguan yang terkadang berkeliaran mengganggu dalam perjalanan spiritual, tentu tidak jarang didapati oleh setiap salikin. Tak jarang pula Salikin Dzikir Nafas yang ketika mendapatkan pencerahan, alam fikirannya mempertanyakan akan kadar kebenarannya.

Sepatutnya, jika memang kondisi bathin kita telah sambung kepada Alloh, maka perlu disadari bahwa segala pemahaman dan gerak ajakan adalah semata mata dari Alloh. Jika demikian, sudah semestinya kita mengabaikan segala bentuk lintasan ketakutan dan keraguan. Agar tidak sampai binasa layaknya kaum nabi Nuh a.s.


Wallohu'alam bish-showab 😌🙏🧘

---------

Selasa, 19 November 2024

Memandang Sumber Yang Memproses


Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَـقَدْ اٰتَيْنَا دَاوٗدَ وَ سُلَيْمٰنَ عِلْمًا ۚ وَقَا لَا الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ فَضَّلَنَا عَلٰى كَثِيْرٍ مِّنْ عِبَا دِهِ الْمُؤْمِنِيْنَ

"Dan sungguh, Kami telah memberikan ilmu kepada Daud dan Sulaiman; dan keduanya berkata, "Segala puji bagi Allah yang melebihkan kami dari banyak hamba-hamba-Nya yang beriman.""

_[QS. An-Naml 27: Ayat 15]_

=================

Jumhur mufassirin sepakat menjelaskan bahwa rasa syukur yang dimiliki oleh Nabi Daud dan Sulaiman adalah didasari atas kesadaran beliau berdua akan karunia Alloh s.w.t yang diberikan kepada mereka.

Banyak keutamaan yang mereka dapatkan baik dari segi ilmu agama, ilmu kepemimpinan, hingga berbagai ilmu praktis.

dalam Tafsir Al-Ibris, KH. Bisri Mustofa menjelaskan, kedua Nabi tsb lebih memilih menyikapi nikmat yg dinilai sebagai ujian dari Alloh dengan Bentuk Syukur.

Hal ini tentu merupakan contoh yang luar biasa bagi kita semua. Di antara sebagian orang yang memilih bersikap sombong dan mengagungkan ilmunya entah karena banyaknya proses belajarnya, kemudian mengagungkan prosesnya. Kedua Nabi tersebut justru mencontohkan untuk mem-bypas yakni mengagungkan Sang Sumber Ilmunya. Meskipun ini merupakan sudut pandang, namun tentu sudut pandang yang digunakan oleh Nabi Sulaiman a.s dan Nabi Daud a.s ini lebih utama.

Diriwayatkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, bahwa Khalifah Umar ibn Abdul Aziz pernah bersurat yang berisi keterangan Apabila Alloh memberikan Nikmat kepada suatu kaum/hamba, lalu si hamba itu memuji Alloh atas nikmat tersebut, maka Pujian seorang hamba itu bernilai lebih Utama daripada kenikmatan yang ia dapatkan.

Artinya, Limpahan Rasa Syukur kepada Alloh s.w.t yg tumbuh dalam Diri seorang hamba itu lebih Utama daripada limpahan nikmat apapun yang telah ia terima. Dengan kata lain, Syukur adalah kenikmatan yang paling Nikmat dari segala nikmat dari Alloh azza wajalla.

Uniknya, serupa dengan apa yg sedang kita pelajari bersama di DNSA ini, munculnya rasa Syukur semacam itu semua. Pada dasarnya adalah runtutan efek dari kesadaran seorang hamba bahwa sumber dari segala hal adalah Alloh semata. Penjelasan semacam ini bisa kita dapati juga dalam tafsir al-Baidhawi, di mana dijelaskan bahwa Rasa Syukur yang ada pada diri Nabi Sulaiman a.s dan Nabi Daud a.s adalah karena mendalamnya kesadaran mereka bahwasannya ilmu dan berbagai kenikmatan yang mereka peroleh bukanlah akibat dari Proses Usaha mereka, melainkan semata mata karena Karunia dari Alloh s.w.t

Maka dari itu, bisa menjadi sebuah bahan muhasabah diri kita apabila sedikit terbesit bahwa apa yang kita peroleh saat ini adalah asbab kasab / usaha kita, maka sudah selayaknya sudut pandang kita musti segera diswitch / diputar menuju sudut pandang bahwa ini semua yang terjadi adalah karena Alloh s.w.t semata, berbagai nikmat sekecil maupun sebesar apapun adalah bentuk karunia Alloh s.w.t.

Hal ini tentu akan memperlihatkan kualitas kita, apakah kita ada dalam shof hamba Alloh yg bersyukur ataukah di barisan hamba Alloh yang kufur.


Wallohu'alam bish-showab

Ma'an Mubarokan - Air Yang Penuh Berkah

 Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَآءِ مَآءً مُّبٰـرَكًا فَاَ نْۢبَـتْـنَا بِهٖ جَنّٰتٍ وَّحَبَّ الْحَصِيْدِ 

"Dan dari langit Kami turunkan air yang memberi berkah, lalu Kami tumbuhkan dengan (air) itu pepohonan yang rindang dan biji-bijian yang dapat dipanen,"

[QS. Qaf 50: Ayat 9]

--------------------------------------

Dalam ilmu tafsir, ada berbagai macam bentuk tafsir, ada yang bil ma'tsur (dengan riwayat nabi), ada yang bir-ro'yi (didasarkan pada pemikiran yg mendalam dari sekian disiplin ilmu, seperti ushul dlsb), ada yang isy'ari (didasarkan pada isyaroh bathin).

Waskita Qur'an, setelah dikaji secara seksana, insyaallah ini termasuk dalam kategori isy'ari atau yg disebut oleh sebagian kalangan sebagai tafsir sufisme.

Sebagaimana hasil Waskita Qur'an kami pagi ini, yang sampai pada QS.Qof:9 , kami mendapati makna lain dari kalimah _"ma'an mubarokan"_ itu bukanlah sekedar hujan dari langit. Meskipun secara tekstual ayat, baik dari runutan ayat ke-7nya adalah menunjukan fenomena alam berupa air hujan. Namun khusus di ayat ini, kami mendapati isyaroh bahwa _"ma'an mubarokan"_ adalah limpahan kefahaman tentang iman, ihsan, islam yang mendalam dan luas langsung dari sumbernya. Sehingga pemahaman itu akan menimbulkan suatu efek ketenangan bathin, melakukan berbagai gerak tanpa keraguan dan cemerlang. Yang digambarkan _"jannah"_ (kebun kebun). Yang mana biji²nya dapat dipanen dan dinikmati oleh siapapun (wa habbal hasiid)

Kalau kita baca rangkaian ayat ini hingga selesai di ayat ke-11 akan kita dapati bersama di mana _"ma'an"_ akan mampu menghidupi negri yang kering. Dengan kata lain, mampu memberikan nilai, spirit kepada banyak makhluk yang nihil akan nilai khusus.

Uniknya jika kita flashback ke ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-8, kita akan menjumpai bahwa kunci untuk menerima luapan _"ma'an mubarokan"_ yang dimaksud adalah dengan Dzikr yang "tabshirotan" memicu hadirnya pelajaran. Tentu ini mengarah pada esensi Dzikir itu sendiri, yakni menyadari eksistensi Alloh azza wa jalla.


Wallohu'alam bish-showab

Kamis, 09 Mei 2024

Belajar Al-Qur'an - Spiritualitas Al-qur'an bukan hanya milik segelintir muslimin

 Dalam sebuah riwayat dikabarkan bahwa Nabi s.a.w bersabda,


خَيركُم مَنْ تَعَلَّمَ القُرْآنَ وَعلَّمهُ

“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.”
[HR. Tirmidzi]


sering kali ketika mendengar referensi kalam mulia tersebut, kita mengasumsikan bahwa istilah "mempelajari Al-qur'an" adalah sebatas membacanya semata. Meskipun hal ini tidaklah salah, namun mungkin kurang lengkap.

karena sejatinya mempelajari Al-qur'an semestinya tidak hanya mempelajari makhorijal huruf nya saja. tidak semata kemudian kita musti berlomba lomba dalam kefasihan memcaba tektualitas ayatnya semata. yang notabene ini adalah kegiatan yang bersifat lahiriah.

dalam kitab Ihya' Ulumuddin karya Imam Al-Ghozali, sempat disinggung bahwa al-Qur'an ini lapisan atau dimensinya tidak hanya berkutat pada dimensi lahiriah saja, melainkan juga ada dimensi bathiniah yang sering kali terlupa oleh kebanyakan orang tentang keberadaan dan urgensinya. pendapat beliau r.a kemudian dikuatkan dengan kutipan beliau akan suatu riwayat yang menyatakan bahwa Rosululloh s.a.w pernah membaca bismillah hingga 20 kali hanya untuk mendapatkan siratan makna tersembunyi yang ada dalam kalimah Bismillah.

Dengan kata lain, Imam Ghozali hendak menunjukkan kepada kita bahwa kalimah mulia dari setiap untaian Al-Qu'an itu memiliki dimensi yang sepatutnya digali lebih dalam oleh para kaum muslimin.



melalui tulisan ini, setidaknya kami ingin mencatatkan bahwa dimensi bathiniah atau spiritual ini juga merupakan bagian dari ungkapan Baginda Nabi s.a.w di atas, yakni disebut dengan "Belajar Al-Qur'an".

lantas berikutnya, apakah semua muslimin bisa memperoleh pemahaman yang mendalam dari Al-qur'an, ataukah hanya muslimin tertentu yang sudah menguasai berbagai macam disiplin ilmu?

maka menurut hemat dan praktis kami, sebagaimana yang telah kami alami bersama para salikin lainnya yang juga sama sama haus akan realitas al-Haqq. Semua orang muslim sangat berpotensi untuk mendapat petunjuk atau menyibak realitas cahaya al-qur'an yang mendalam. Iya betul, semuanya. termasuk anda yang secara sirr digerakkan oleh Alloh s.w.t untuk membaca coretan ini.



tentu, kita semua tidak melewatkan Pembukaan Al-Qur'an setelah Surah Al-Fatihah.

الۤمّۤ ۚ . ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيْهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِيْنَۙ .

Alif Lām Mīm. Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan di dalamnya; (ia merupakan) petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, [Q.S. al-Baqoroh]


Jumhur Ulama sepakat menyatakan bahwa huruf muqoto'ah yang mengawali suatu surat, salah satu tujuannya adalah untuk menarik perhatian pembacanya. baru kemudian penegasan maksud suatu firman dimunculkan pada ayat berikutnya.

kembali pada pembahasan sebelumnya, bahwa kita semua berhak untuk mendapatkan kedalaman makna dari setiap ayat yang ada di dalam al-Qur'an. Salah satu dasar selain dari praktikum kami adalah Q.S Al-Baqoroh ayat ke-2 tersebut. dengan sangat jelas Alloh s.w.t menyatakan bahwa "ini" (Al-Qur'an) adalah ketetapan yang tiada keraguan sama sekali di dalamnya. yang sekaligus menjadi petunjuk bagi setiap orang yang bertakwa.




sebelum beranjak untuk menyadari kalimat "ketetapan yang tiada keraguan" (ذٰلِكَ الْكِتٰبُ لَا رَيْبَ) , ada baiknya kita coba pahami "adanya/sumber dari keraguan" itu sebenarnya adalah ketidak sesuaian maksud hati dengan panca indrawi maupun pikiran. contoh dalam sebuah perjalanan, kita akan mengalami keraguan menentukan arah ketika hati kita berkata belok kanan, namun pikiran mengasumsikan harus belok kiri. sedangkan mata justru memandang kondisi 'depan' lebih nyaman untuk hendak dilewati.

ketidak sesuaian dimensi bathin dan lahir akan menimbulkan keraguan ataupun kegalauan. Demikian juga kitab yang mulia ini, dikatakan sebagai "laa roiba" tidak ada keraguan sedikitpun, karena ia memiliki makna lahir dan bathin yang tepat dan serasi. bahkan ketika dikonsumsi oleh pihak lain, yaitu manusia. maka makna bathin yang terkandung dalam setiap ayat al-qur'an pasti akan dibenarkan oleh bathiniahnya manusia. sekalipun secara akal manusia ada beberapa yang mencoba memanipulasi makna maupun enggan percaya.

kepercayaan di tataran persepsi maupun manipulasi makna, ini tetap tidak akan mampu membohongi lingkup bathin atau spirit yang terkandung dalam diri masing masing manusia. sehingga ketika suatu ketika persepsi manusia yang cenderung dipengaruhi oleh indrawi menemukan keselarasan makna lahiriah al-qur'an dengan berbagai pembuktian fisik, maka mau ataupun tidak harus mengakui ketepatan / laa-roiba nya al-Qur'an tersebut.


Artinya, kita semua berpotensi luas untuk memasuki relung relung rahasia bathin setiap ayat al-Qur'an. Setiap kita juga tentu tidak bisa disalahkan apabila menyakan bahwa cakupan Sabda Mulia Rosululloh s.a.w itu pun juga meliputi "Pembelajaran akan Makna - Makna Spiritual dari Al-Qur'an"


Pertanyaan Berikutnya, Bagaimana Cara Kita untuk menyelami Dimensi Spiritual Al-Qur'an ??

Paling Sering Diakses

Akar dari Sikap Sabar

  الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَا لصّٰبِرِيْنَ عَلٰى مَاۤ اَصَا بَهُمْ وَا لْمُقِيْمِى الصَّلٰوةِ ۙ وَمِمَّا رَزَق...