Sabtu, 05 Agustus 2017

4 Nafsu yang Satu

Dari sekian banyaknya metode pengenalan diri, ada beberapa yg mungkin dapat kita serap dan padatkan.
Bicara tentang nafsu, mungkin di dalam benak kita akan bermunculan bermacam macam persepsi yang memunculkan imajinasi berbentuk sosok sosok.
Kalau nafsunya lawwamah, sosoknya bagaimana. Nafsunya amarah bagaimana dan semacamnya.

Saya akan berangkat dari takarannya dulu.
Kalau kita bicara tentang nafsu, berarti kita musti sepakati dulu. Ini yang dimaksud adalah nafsu yang merupakan kata serapan dari bahasa arab kah? Atau nafsu yg selama ini kita pahami sebagai macam macam keinginan?
Takaran ini memang penting. Kalau saya ngomong 'kilo' dalam ranah satuan meter, lalu lawan bicara saya memahami 'kilo' dalam satuan gram. Tentu akan sangat rancu. Bahkan apabila hal ini terjadi pada dialektika konsep spiritual, akan sangat lucu jadinya.

Oke mari kita mulai.
Nafsu yang saya maksudkan di sini adalah nafsu yang berarti 'diri'.
Berangkat dari kata 'an-nafs' dalam kosakata arab.
Secara umum sebagian dari kita mungkin telah memahami adanya bermacam macam jenis nafsu. Ada yang namanya sufiyah, lawwamah, muthmainnah, amarah dlsb.
Setidaknya dari keempat nama itu saja persepsi kita mulai terkotak kotak.
Maklum kita sekarang sedang disuguhi cara berpikir yg terkotak kotak, fakultatif. Jadi sangat wajar jika pola pikir kita musti lebih pelan dan santai untuk memahami hal hal yg bersifat universal. Kesatuan, kemanunggalan, tauhid.

Empat nama yg dilekatkan pada kata 'nafsu' di atas itu sebenarnya adalah pensifatan atas tingkah polah si diri manusianya.
Diri / nafsu dikatakan ammaroh adalah ketika dia dipenuhi oleh sifat sifat yang penuh keinginan. Dimana siapapun orangnya yg dalam benaknya dipenuhi oleh berbagai macam keinginan, rata rata ia akan mengambil sikap gegabah, terburu buru, bahkan sampai suka marah marah akibat banyaknya endapan keinginan yg belum tercapai.
Nafsu / diri dikatakan sufiyah apabila dia dipenuhi kehendak untuk berbuat kebajikan, keinginan untuk mendekat kepada Alloh. Kehendak untuk beribadah dan lain semacamnya.
Dikatakan sebagai lawwamah apabila ia cenderung bersikap malas dalam hal apapun termasuk melangkahkan dirinya kehadiratulloh hingga perkara perkara duniawiyah.
Dan dikatakan muthmainnah apabila dia telah mencapai kondisi ketenangan dan ridho atau menerima setiap bentuk ketentuan dari Alloh yg berlaku atas dirinya.

Nama nama atau sebutan sebutan itu hanyalah gelar yg disandangkan kepada si pelaku saja. Sebenarnya esensinya ya satu. Diri itu sendiri.
Sama halnya ketika si-A mencuri dia akan disebut maling, apabila si-A bersedekah dia akan dikatakan dermawan, apabila si-A bertaubat lantas menjadi rajin ibadah dia dikatakan sebagai 'Abid, apabila ia enggan berbuat apapun dikatakan sebagai pemalas.
Sama halnya apabila pakde paklek saya memanggil saya dengan sebutan Donie al-Murtadho, sahabat sahabat majlis suluk menggelari saya dengan sebutan Donie Gemblung, sedangkan orang tua saya sendiri memberi nama Donie Verdyan.
Orang nya sama, namun beda penyebutannya saja.

Begitupun Alloh. Ketika DIA berfirman, "berdoalah dengan menyebut ar-Rahman atau nama nama indahKU yang lain".
Bukan berarti ar-Rahman dan ar-Rohim adalah entitas yg berbeda.
Ini adalah hal yg sangat mendasar.
Kita jangan mudah terjebak pada bentuk betuk kosakata semata.
Kesadarandan sudut pandangnya musti meluas.

Jadi jangan mengira di dalam batang tubuh kita ini ada banyak bentuk bentuk jiwa.
Jiwa kita atau diri kita ini ya satu.
Sebagaimana raga kita yg hanya satu ini.
Jiwa adalah diri atau nafsu itu sendiri.
Biar tidak rancu lagi.
Selebihnya tentang pengenalan tentang diri saya kira sudah sering saya ulas di blog ini, semoga sedikit tulisan ini bermanfaat.
Jika ada yg masih bingung silahkan hubungi saya.

2 komentar:

Paling Sering Diakses

Bersikap Menerima Ketika Dalam Keadaan Fasik

 فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا "Maka Alloh mengilhamkan kepadanya (jiwa) kefasikan dan ketakwaan" [Q.S. Asy-Syams : 8] sej...